Monday, February 15, 2016

Tukang Bubur Punya Mantan

Di pagi buta, lantunan nada mendayu ter lontar dari nyanyian indah ayam-ayam kampung. Kini, berbagi sudut desa Kendal satu persatu mulai terang. Lampu-lampu ublek yang di padamkan waktu menjelang tidur, kini cahaya itu kembali terlihat dari celah-celah lubang dinding para warga.
              Di sebuah rumah bambu di tengah-tengah perkampungan, tiga lampu ublek menyala terang,  rumah itu tidak begitu besar, juga tidak terlalu sempit. Ketiga ublek terbagi dalam tiga ruang, ublek pertama di letakkan di atas meja ruang tamu. Lampu kedua di ruang agak sempit yang hanya memuat tiga orang ialah ruang ibadah. Ublek itu diletakkan di sebuah tiang menyangga yang di buat khusus dari bambu panjang hingga se dada orang dewasa. Sedangkan yang ketiga terletak di dapur.
               Pak Salam adalah nama pemilik rumah itu, seorang tukang bubur yang terkenal di desa Kendal. Keahlian nya membuat bubur, diperoleh dari orang tuanya. Setelah setahun berjalan bubur nya mampu menggoyangkan lidah desa, bahkan hingga desa tetangga. tidak heran jika bubur nya sangat terkenal.
              Pagi ini selesai sholat, ia dan istrinya _mpok Rojiah­_ langsung menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, termasuk bumbu-bumbu khasnya yang membuat orang ketagihan memakan buburnya. Resepnya mungkin dari nenek buyut nya dulu. Tapi, untuk bubur kang Salam sendiri, ia mencoba memodifikasi dengan bumbu-bumbu percobaan nya selama kurang lebih setahun, dan sungguh tiada usaha yang sia-sia. Kini ia membuktikan bahwa semangat dan keyakinannya mendatangkan hoki.
              Mpok Rojiah adalah seorang anak kepala desa yang kini telah pensiun. Dia bukanlah primadona desa, akan tetapi dengan kedudukan abah nya, paling tidak dia punya nilai plus untuk menjadi bahan rebutan para lelaki-lelaki desa. Terbukti, sudah banyak sekali lelaki yang berdatangan, mulai dari yang berondong hingga bapak-bapak yang sudah uzur.
              Pernah suatu hari, seorang pemuda berumuran 18 tahun, datang melamar nya, sedangkan umur Rojiah saat itu adalah 22 tahun. Di umuran ini, gelar perawan tua bersemayam pada dirinya, sebab di desa Kendal anak perempuan biasanya menikah di usia belasan.
              Layaknya orang yang akan meminang, pemuda itu datang ke rumah Rojiah dengan membawa kue-kue khas desa Kendal. Lelaki ini sangatlah tampan. Tapi sayang, ia masih suka mengemut jempol nya, bahkan dari pertama masuk hingga selesai acara yang  berakhir penolakan, ia masih menjilat jempol kesayangannya.   
              Ada juga kejadian aneh lainnya, kali ini bukan brondong. Seorang kakek-kakek genit. Kakek itu seperti layaknya kakek-kakek diluar sana, kulit keriput, rambut beruban, gigi tinggal dua yang berjauhan. Tetapi dia adalah orang terkaya di desa, memiliki perkebunaan berhektar-hektar. Dia juga sudah mempunyai 3 istri 10 anak dan lima cucu. Lamaranya kali kini, ia bermaksud menjadikan Rojiah istri ke empatnya. Secara tegas Rojiah menolak. Ada ada wahe ini kakek kakek.
              Berbeda dengan mpok Rojiah, kang Salam adalah seorang pemuda sederhana dan baik. Tetapi nasib asmaranya tidak begitu mujur, dari sekian anak gadis di kampung Kendal, hanya segelintir yang tertarik padanya. Memang tidak dipungkiri, kang Salam bukanlah seorang pemuda tampan, ia juga tidak terlahir sebagai orang kaya. Maka  dari itu, jarang sekali ada gadis yang tertarik padanya.
              Seorang gadis yang pernah mencuri hatinya dan hati sang gadis yang tercuri oleh kang Salam adalah Muawanah, seorang gadis desa yang pendiam, cantik, santun dan mempunyai wajahnya cetar membahana badai halilintar guntur turnado.
              Partemuan kang Salam dan mpok Muawanah tidak seperti kisah di sinetron-sinetron seperti biasanya. Di mana dua sejoli yang saling bertabrakan, saling pandang, hingga keduanya jatuh cinta. Bukan pula karena awal benci jadi cinta. Tapi,  kejadian itu sungguh berbeda.
              Awal kisah dimulai dari hari minggu, jika biasanya orang berlibur ketika hari minggu tiba, tapi tidak untuk kang Salam. Di hari ini, rezekinya akan semakin bertambah, sebab kebanyakan warga bersantai di rumah. Hari itu dengan penuh semangat kang Salam mendorong gerobak dan berkeliling di area perkampungan. Di setiap perjalanan tidak henti-hentinya ia berteriak. “Bur-bubur, yang ingin lebih cantik, ganteng, banyak rezeki dan awet muda ayo sarapan bubur. Bubur siapa lagi kalu bukan bubur cak Salam.” Begitulah kata yang terlontas di setiap perjalanannya.
              Diluar rumah, warga sudah menunggu kehadiranya, satu persatu mulai mengerumuni, begitu seterusnya hingga tinggallah satu magkok bubur. Sungguh luar biasa di hari minggu itu. Di hari biasa, kang Salam biasa menjual hingga sore hari, tapi di hari minggu ia bisa menjual hanya sampai siang hari. Senyum terus mengembang di pipi kang Salam.
              Di tengah perjalanan pulang, kang Salam melihat seseorang nenek-nenek sedang duduk di pinggir jembatan. Nenek itu menutupi semua bagian kepalanya kecuali mata. Mata hitam ke abuan yang begitu sendu seperti mengharap sesuatu. Nenek itu sesekali mengelus perutnya. Kang Salam merasa kasihan, ia menghampiri nenek tua itu dan memberikan semangkok bubur yang masih tersisa. Selesai makan kang Salam berpamitan pada si nenek.  Baru beberapa langkah kang Salam berjalan, si nenek memanggilnya. Kang Salam berhenti, ia merasakan hal yang aneh, suara nenek itu terdengar seperti seorang gadis,  rasa penasaran nya mendorong ia menengok ke belakang. Kang Salam kaget bukan kepalang, hingga mangkok yang ia bawa terjatuh hampir mengenai kakinya. Ia tidak menyangka, nenek yang baru saja ia tolong berubah menjadi seorang gadis cantik dengan balutan kerudung seadanya layaknya gadis desa.
              Berlahan kang Salam menghampuri si gadis dan menanyakan ke berada nenek tua yang baru saja ia temuai.  Mengejutkan, gadis itu mengaku bahwa dialah nenek yang duduk tadi dan memakan buburnya. Kang Salam semakin tidak percaya dengan kejadian itu, ia berfikir ini seperti dongeng yang diceritakan ibunya ketika ia masih kecil. Nada gagap mengiringi pertanyaan kang Salam menyakinkan apakah gadis itu benar-benar bidadari yang turun dari langit. Tiada jawaban dari bibir manis si gadis, hanya senyum mengembang yang membuat siapa saja tergeletak kaku.
              Gadis itu mulai bercerita setelah kang Salam berulang kali bertanya. Mula-mula gadis itu mengenalkan diri, dia adalah Muawanah seorang anak ustad Mustajab yang mempunyai mushola di pojok perkampungan. Dia berada di sini dan dengan dandanan seperti itu karena ia mencari lelaki yang tulus dan baik yang akan menjadi suaminya kelak. Beberapa waktu lalu abah nya memintanya menikah dengan lelaki, tapi ia meminta abah nya untuk memberikan haknya memilih lelakinya sendiri. Abah nya setuju, dalam masa 3 hari ia harus memperkenalkan lelaki itu pada abah nya, jika tidak, ia harus terpaksa menikah dengan anak kyai Makmun yang baru saja datang dari mesir.
              Hari  itu adalah hari terakhir dalam pencarian nya. begitulah alasan mengapa ia melakukan hal itu. ia bersyukur karena orang yang ia cari telah ia temukan dan tidak lain adalah kang Salam. Tapi ia juga menawarkan kalaupun kang Salam tidak keberatan.
              Kang Salam melolongkan kedua matanya. Sekali lagi ia harus terdiam membisu. Ia tidak tahu takdir tuhan apa lagi yang baru saja ia terima, semua  sungguh mengesankan baginya. Ia bersyukur ternyata tuhan mengabulkan doanya. Doa tulus yang selalu ia panjatkan siang dan malam mengingat usianya yang memasuki umur 27 tahun.
              Sore harinya, kang Salam memenuhi janji neng Muawanah untuk menghadap ust Mustajab. Di sebuah rumah yang apik terbuat dari ukiran kayu yang cantik nan indah, begitu serasa di sebuah kerajaan kuno. Kang salam tidak sendiri, ia ditemani oleh ibunya tersayang -mpok aminah-. Di depan teras rumah ia mendapati seorang lelaki bersongkok dengan baju muslim dan sarung kotak-kotak yang melingkar dari pinggang hingga mata kaki, dan sebuah surban menggantung di pundaknya. Di sampingnya  seorang perempuan setengah baya dengan gaun perumahan, kepalanya berbalut kerudung dari kain sederhana. Di depan keduanya terdapat seorang gadis yang ia temui di sebuah jembatan kemarin. Jembatan yang mempertemukan cinta mereka.
              Ucapan Salam ter lontar dari bibir kang Salam yang mulai kering, ketiga orang yang duduk langsung memandangnya dan menjawab Salam, seperti layaknya tamu kang Salam dan ibunya langsung di sambut dan di persilahkan duduk. Sedangkan Muawanah pamit menuju dapur untuk membuatkan teh. Tanpa berbasa-basi kang Salam dan ibunya langsung pada inti maksud dari kedatangannya. Pak Mustajab yang dari tadi memperhatikan kang Salam mulai bertanya tentang 3 B. Bibit, Bebet dan Bobot kang Salam.
              Ibu kang Salam angkat bicara, ia memulai penjelasan tentang bibit atau yang biasa disebut keturunan. Bu Aminah menjelaskan kalau keluarganya adalah darah jawa mereka juga beragama islam seperti ust Mustajab. Sedangkan bebet atau lingkungan hidup. Mereka hidup di lingkungan sederhana ditengah-tengah warga lain. Terakhir adalah bobot atau kata lain adalah pekerjaan. Penjual bubur adalah pekerjaan sehari-hari di keluarga mpok Aminah, pekerjaan itu sudah menjadi tradisi turun temurun.
               Selesai bercerita, Muawanah datang dari dalam membawa nampan yang berisikan teh hangat dan beberapa kue khas Kendal. Ia meletakan kue dan minuman di meja. Pak Mustajab dan istrinya mohon pamit, sedangkan Muawanah disuruh menemani para tamu.
              Kata  pujian langsung terlontar dari ibu Aminah yang melihat kecantikan calon mantunya. Di dalam rumah pak mustajab dan istrinya berdiskusi hebat, inti dari diskusi itu adalah ditolok atau diterimanya kang Salam di keluarganya. Ketiga  pemaparan bu Aminah masalah bibit, bebet dan bobot,  hanya bibit  yang menjadi kendala pak Mustajab begitu juga bu Mustajab.
              Mereka ingin memiliki seorang menantu yang pandai dalam agama, dan keturunan orang darah biru. hingga nantinya sang menantu bisa mengantikanya ketika ia telah lanjut usia. Tapi, Mereka mengakui kalau kang Salam memang pantas mendapatkan Muawanah. Sebab kang Salam adalah tipe memuda pekerja keras dan baik. Keputusan akhirnya didapat.
              Setelah berunding kurang lebih sepuluh menit, mereka kembali menemui tamunya. Sebelum mengutarakan keputusannya pak Mustajab mempersilahkan kang Salam dan mpok Aminah untuk meminum teh manis yang di buat anak tersayangnya.
              Beberapa menit setelah terperangkap dalam kebekuan, kang Salam mulai menanyakan keputusan pak Mustajab. Ia nampak tidak sabar mendengar kata setuju dari pak Mustajab. Dia telah memikirkan seluruh hal yang akan terjadi dan akan ia perbuat jika kelak ia bisa menikahi Muawanah, gadis impian yang selama ini selalu ia sebut dalam doanya.
              “Sungguh kami sangat terhormat atas kedatangan ibu dan nak Salam kesini, dan kebetulan kami memang sedang mencari calon suami untuk Muawanah. Kemarin Muawanah juga sudah bercerita banyak tentang nak Salam. Jujur kami sangat menginginkan orang seperti nak Salam untuk menjaga Muawanah. Jarang sekali ada pemuda seperti nak Salam. pekerjaan nak Salam juga sangat mulia,” Ujar pak Mustajab yang terhenti dan menengok istri dan anaknya.
              Muawanah terlihat tegang, hatinya telah teracuni cinta kang Salam. Ia takut kalau kali ini abahnya menolok. Kegelisaanan juga nampak di wajah kang Salam, dalam hati ia cukup senang atas sanjungan pak Mustajab, paling tidak ia telah mendapatkan poin plus dimata calon mertuanya, tapi di sisi lain ia masih berdebar menanti jawaban atas niatnya kali ini.
              “Tapi ibu Aminah dan nak Salam kami mohon maaf, pak Mustajab meneruskan kalimatnya. “kami tidak bisa menerima nak Salam menjadi menantu kami, dan menjadi suami anak kami Muawanah, sekali lagi kami mohon maaf. Perlu kami beritahukan bahwa calon menantu yang kami cari adalah orang yang mahir dalam ilmu agama, sebab nantinya kami ingin, ia mengantikan posisi saya di desa ini.”
              Wajah Muawanah langsung berubah, tersirat kesedihan dan kekecewaan, ternyata yang ia takutkan terjadi. Lain halnya Salam dan ibu Aminah mereka terlihat pasrah atas penolakan itu, Salam cukup sadar kalau dia bukanlah anak pondokan yang mahir tentang ilmu agama. Ia menyesal karena dulu sewaktu ayahnya masih hidup ia menolak dipondokkan.
              “Tapi abah, abahkan sudah janji, kalau Muawanah mendapatkan lelaki pilihan Muawanah, abah akan setuju. Lagian abah sendiri bilang kau kang Salam orang baik, orang yang tepat untuk Muawanah,” Muawanah mencoba meyakinkan ayahnya.
              “Ia nduk, tapi abah minta maaf,  ini adalah wasiat dari kakekmu. Beliau berpesan ketika kamu menikah nanti, kamu harus menikah dengan orang yang mengerti banyak tentang agama, jadi ibu Aminah dan nak Salam sekali lagi kami mohon maaf.
              Bu Aminah dan kang Salam berpamitan, ke piluan mengguncang hati dan pikirannya, kini ia merasa di per mainkan takdir. Kemarin baru saja ia merasakan kebahagiaan, mengenal seorang gadis cantik dan bersedia menjadi istrinya. Tapi, hari ini semua itu telah sirna. Sembari bersalaman dengan pak Mustajab, kang Salam melirik wajah Muawanah yang mungkin menjadi terakhir kalinya.
              Langit biru mulai berkelabu, awan-awan hitam berbondong-bondong menutupi berbagai keindahan langit, air turun dari celah-celah nya, begitu juga hati Muawanah dan Salam. Cinta mereka begitu singkat.
              Sebulan berlalu, tapi duka itu masih membekas di hati, hari ini adalah hari perkawinan Muawanah dengan Muhaimin, seorang lelaki pilihan pak Mustajab. Kang Salam sendiri tidak mau kalah. Ia juga baru beberapa hari yang lalu melamar neng Rojiah yang kini menjadi istrinya. Awalnya dia menolak untuk lamaran ini, sebab dia masih berharap neng Muawanah yang menjadi istrinya. Tapi, setelah kejadian bulan lalu kondisi ibunya memburuk. Akhirnya ia menerima untuk melamar Rojiah. Paling tidak ia telah membahagiakan ibunya sebelum ibunya benar-benar pergi untuk selama-lamanya.

0 comments:

Post a Comment

 
The Secret Walls Blogger Template by Ipietoon Blogger Template