Monday, February 15, 2016

Tukang Bubur Punya Mantan

Di pagi buta, lantunan nada mendayu ter lontar dari nyanyian indah ayam-ayam kampung. Kini, berbagi sudut desa Kendal satu persatu mulai terang. Lampu-lampu ublek yang di padamkan waktu menjelang tidur, kini cahaya itu kembali terlihat dari celah-celah lubang dinding para warga.
              Di sebuah rumah bambu di tengah-tengah perkampungan, tiga lampu ublek menyala terang,  rumah itu tidak begitu besar, juga tidak terlalu sempit. Ketiga ublek terbagi dalam tiga ruang, ublek pertama di letakkan di atas meja ruang tamu. Lampu kedua di ruang agak sempit yang hanya memuat tiga orang ialah ruang ibadah. Ublek itu diletakkan di sebuah tiang menyangga yang di buat khusus dari bambu panjang hingga se dada orang dewasa. Sedangkan yang ketiga terletak di dapur.
               Pak Salam adalah nama pemilik rumah itu, seorang tukang bubur yang terkenal di desa Kendal. Keahlian nya membuat bubur, diperoleh dari orang tuanya. Setelah setahun berjalan bubur nya mampu menggoyangkan lidah desa, bahkan hingga desa tetangga. tidak heran jika bubur nya sangat terkenal.
              Pagi ini selesai sholat, ia dan istrinya _mpok Rojiah­_ langsung menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, termasuk bumbu-bumbu khasnya yang membuat orang ketagihan memakan buburnya. Resepnya mungkin dari nenek buyut nya dulu. Tapi, untuk bubur kang Salam sendiri, ia mencoba memodifikasi dengan bumbu-bumbu percobaan nya selama kurang lebih setahun, dan sungguh tiada usaha yang sia-sia. Kini ia membuktikan bahwa semangat dan keyakinannya mendatangkan hoki.
              Mpok Rojiah adalah seorang anak kepala desa yang kini telah pensiun. Dia bukanlah primadona desa, akan tetapi dengan kedudukan abah nya, paling tidak dia punya nilai plus untuk menjadi bahan rebutan para lelaki-lelaki desa. Terbukti, sudah banyak sekali lelaki yang berdatangan, mulai dari yang berondong hingga bapak-bapak yang sudah uzur.
              Pernah suatu hari, seorang pemuda berumuran 18 tahun, datang melamar nya, sedangkan umur Rojiah saat itu adalah 22 tahun. Di umuran ini, gelar perawan tua bersemayam pada dirinya, sebab di desa Kendal anak perempuan biasanya menikah di usia belasan.
              Layaknya orang yang akan meminang, pemuda itu datang ke rumah Rojiah dengan membawa kue-kue khas desa Kendal. Lelaki ini sangatlah tampan. Tapi sayang, ia masih suka mengemut jempol nya, bahkan dari pertama masuk hingga selesai acara yang  berakhir penolakan, ia masih menjilat jempol kesayangannya.   
              Ada juga kejadian aneh lainnya, kali ini bukan brondong. Seorang kakek-kakek genit. Kakek itu seperti layaknya kakek-kakek diluar sana, kulit keriput, rambut beruban, gigi tinggal dua yang berjauhan. Tetapi dia adalah orang terkaya di desa, memiliki perkebunaan berhektar-hektar. Dia juga sudah mempunyai 3 istri 10 anak dan lima cucu. Lamaranya kali kini, ia bermaksud menjadikan Rojiah istri ke empatnya. Secara tegas Rojiah menolak. Ada ada wahe ini kakek kakek.
              Berbeda dengan mpok Rojiah, kang Salam adalah seorang pemuda sederhana dan baik. Tetapi nasib asmaranya tidak begitu mujur, dari sekian anak gadis di kampung Kendal, hanya segelintir yang tertarik padanya. Memang tidak dipungkiri, kang Salam bukanlah seorang pemuda tampan, ia juga tidak terlahir sebagai orang kaya. Maka  dari itu, jarang sekali ada gadis yang tertarik padanya.
              Seorang gadis yang pernah mencuri hatinya dan hati sang gadis yang tercuri oleh kang Salam adalah Muawanah, seorang gadis desa yang pendiam, cantik, santun dan mempunyai wajahnya cetar membahana badai halilintar guntur turnado.
              Partemuan kang Salam dan mpok Muawanah tidak seperti kisah di sinetron-sinetron seperti biasanya. Di mana dua sejoli yang saling bertabrakan, saling pandang, hingga keduanya jatuh cinta. Bukan pula karena awal benci jadi cinta. Tapi,  kejadian itu sungguh berbeda.
              Awal kisah dimulai dari hari minggu, jika biasanya orang berlibur ketika hari minggu tiba, tapi tidak untuk kang Salam. Di hari ini, rezekinya akan semakin bertambah, sebab kebanyakan warga bersantai di rumah. Hari itu dengan penuh semangat kang Salam mendorong gerobak dan berkeliling di area perkampungan. Di setiap perjalanan tidak henti-hentinya ia berteriak. “Bur-bubur, yang ingin lebih cantik, ganteng, banyak rezeki dan awet muda ayo sarapan bubur. Bubur siapa lagi kalu bukan bubur cak Salam.” Begitulah kata yang terlontas di setiap perjalanannya.
              Diluar rumah, warga sudah menunggu kehadiranya, satu persatu mulai mengerumuni, begitu seterusnya hingga tinggallah satu magkok bubur. Sungguh luar biasa di hari minggu itu. Di hari biasa, kang Salam biasa menjual hingga sore hari, tapi di hari minggu ia bisa menjual hanya sampai siang hari. Senyum terus mengembang di pipi kang Salam.
              Di tengah perjalanan pulang, kang Salam melihat seseorang nenek-nenek sedang duduk di pinggir jembatan. Nenek itu menutupi semua bagian kepalanya kecuali mata. Mata hitam ke abuan yang begitu sendu seperti mengharap sesuatu. Nenek itu sesekali mengelus perutnya. Kang Salam merasa kasihan, ia menghampiri nenek tua itu dan memberikan semangkok bubur yang masih tersisa. Selesai makan kang Salam berpamitan pada si nenek.  Baru beberapa langkah kang Salam berjalan, si nenek memanggilnya. Kang Salam berhenti, ia merasakan hal yang aneh, suara nenek itu terdengar seperti seorang gadis,  rasa penasaran nya mendorong ia menengok ke belakang. Kang Salam kaget bukan kepalang, hingga mangkok yang ia bawa terjatuh hampir mengenai kakinya. Ia tidak menyangka, nenek yang baru saja ia tolong berubah menjadi seorang gadis cantik dengan balutan kerudung seadanya layaknya gadis desa.
              Berlahan kang Salam menghampuri si gadis dan menanyakan ke berada nenek tua yang baru saja ia temuai.  Mengejutkan, gadis itu mengaku bahwa dialah nenek yang duduk tadi dan memakan buburnya. Kang Salam semakin tidak percaya dengan kejadian itu, ia berfikir ini seperti dongeng yang diceritakan ibunya ketika ia masih kecil. Nada gagap mengiringi pertanyaan kang Salam menyakinkan apakah gadis itu benar-benar bidadari yang turun dari langit. Tiada jawaban dari bibir manis si gadis, hanya senyum mengembang yang membuat siapa saja tergeletak kaku.
              Gadis itu mulai bercerita setelah kang Salam berulang kali bertanya. Mula-mula gadis itu mengenalkan diri, dia adalah Muawanah seorang anak ustad Mustajab yang mempunyai mushola di pojok perkampungan. Dia berada di sini dan dengan dandanan seperti itu karena ia mencari lelaki yang tulus dan baik yang akan menjadi suaminya kelak. Beberapa waktu lalu abah nya memintanya menikah dengan lelaki, tapi ia meminta abah nya untuk memberikan haknya memilih lelakinya sendiri. Abah nya setuju, dalam masa 3 hari ia harus memperkenalkan lelaki itu pada abah nya, jika tidak, ia harus terpaksa menikah dengan anak kyai Makmun yang baru saja datang dari mesir.
              Hari  itu adalah hari terakhir dalam pencarian nya. begitulah alasan mengapa ia melakukan hal itu. ia bersyukur karena orang yang ia cari telah ia temukan dan tidak lain adalah kang Salam. Tapi ia juga menawarkan kalaupun kang Salam tidak keberatan.
              Kang Salam melolongkan kedua matanya. Sekali lagi ia harus terdiam membisu. Ia tidak tahu takdir tuhan apa lagi yang baru saja ia terima, semua  sungguh mengesankan baginya. Ia bersyukur ternyata tuhan mengabulkan doanya. Doa tulus yang selalu ia panjatkan siang dan malam mengingat usianya yang memasuki umur 27 tahun.
              Sore harinya, kang Salam memenuhi janji neng Muawanah untuk menghadap ust Mustajab. Di sebuah rumah yang apik terbuat dari ukiran kayu yang cantik nan indah, begitu serasa di sebuah kerajaan kuno. Kang salam tidak sendiri, ia ditemani oleh ibunya tersayang -mpok aminah-. Di depan teras rumah ia mendapati seorang lelaki bersongkok dengan baju muslim dan sarung kotak-kotak yang melingkar dari pinggang hingga mata kaki, dan sebuah surban menggantung di pundaknya. Di sampingnya  seorang perempuan setengah baya dengan gaun perumahan, kepalanya berbalut kerudung dari kain sederhana. Di depan keduanya terdapat seorang gadis yang ia temui di sebuah jembatan kemarin. Jembatan yang mempertemukan cinta mereka.
              Ucapan Salam ter lontar dari bibir kang Salam yang mulai kering, ketiga orang yang duduk langsung memandangnya dan menjawab Salam, seperti layaknya tamu kang Salam dan ibunya langsung di sambut dan di persilahkan duduk. Sedangkan Muawanah pamit menuju dapur untuk membuatkan teh. Tanpa berbasa-basi kang Salam dan ibunya langsung pada inti maksud dari kedatangannya. Pak Mustajab yang dari tadi memperhatikan kang Salam mulai bertanya tentang 3 B. Bibit, Bebet dan Bobot kang Salam.
              Ibu kang Salam angkat bicara, ia memulai penjelasan tentang bibit atau yang biasa disebut keturunan. Bu Aminah menjelaskan kalau keluarganya adalah darah jawa mereka juga beragama islam seperti ust Mustajab. Sedangkan bebet atau lingkungan hidup. Mereka hidup di lingkungan sederhana ditengah-tengah warga lain. Terakhir adalah bobot atau kata lain adalah pekerjaan. Penjual bubur adalah pekerjaan sehari-hari di keluarga mpok Aminah, pekerjaan itu sudah menjadi tradisi turun temurun.
               Selesai bercerita, Muawanah datang dari dalam membawa nampan yang berisikan teh hangat dan beberapa kue khas Kendal. Ia meletakan kue dan minuman di meja. Pak Mustajab dan istrinya mohon pamit, sedangkan Muawanah disuruh menemani para tamu.
              Kata  pujian langsung terlontar dari ibu Aminah yang melihat kecantikan calon mantunya. Di dalam rumah pak mustajab dan istrinya berdiskusi hebat, inti dari diskusi itu adalah ditolok atau diterimanya kang Salam di keluarganya. Ketiga  pemaparan bu Aminah masalah bibit, bebet dan bobot,  hanya bibit  yang menjadi kendala pak Mustajab begitu juga bu Mustajab.
              Mereka ingin memiliki seorang menantu yang pandai dalam agama, dan keturunan orang darah biru. hingga nantinya sang menantu bisa mengantikanya ketika ia telah lanjut usia. Tapi, Mereka mengakui kalau kang Salam memang pantas mendapatkan Muawanah. Sebab kang Salam adalah tipe memuda pekerja keras dan baik. Keputusan akhirnya didapat.
              Setelah berunding kurang lebih sepuluh menit, mereka kembali menemui tamunya. Sebelum mengutarakan keputusannya pak Mustajab mempersilahkan kang Salam dan mpok Aminah untuk meminum teh manis yang di buat anak tersayangnya.
              Beberapa menit setelah terperangkap dalam kebekuan, kang Salam mulai menanyakan keputusan pak Mustajab. Ia nampak tidak sabar mendengar kata setuju dari pak Mustajab. Dia telah memikirkan seluruh hal yang akan terjadi dan akan ia perbuat jika kelak ia bisa menikahi Muawanah, gadis impian yang selama ini selalu ia sebut dalam doanya.
              “Sungguh kami sangat terhormat atas kedatangan ibu dan nak Salam kesini, dan kebetulan kami memang sedang mencari calon suami untuk Muawanah. Kemarin Muawanah juga sudah bercerita banyak tentang nak Salam. Jujur kami sangat menginginkan orang seperti nak Salam untuk menjaga Muawanah. Jarang sekali ada pemuda seperti nak Salam. pekerjaan nak Salam juga sangat mulia,” Ujar pak Mustajab yang terhenti dan menengok istri dan anaknya.
              Muawanah terlihat tegang, hatinya telah teracuni cinta kang Salam. Ia takut kalau kali ini abahnya menolok. Kegelisaanan juga nampak di wajah kang Salam, dalam hati ia cukup senang atas sanjungan pak Mustajab, paling tidak ia telah mendapatkan poin plus dimata calon mertuanya, tapi di sisi lain ia masih berdebar menanti jawaban atas niatnya kali ini.
              “Tapi ibu Aminah dan nak Salam kami mohon maaf, pak Mustajab meneruskan kalimatnya. “kami tidak bisa menerima nak Salam menjadi menantu kami, dan menjadi suami anak kami Muawanah, sekali lagi kami mohon maaf. Perlu kami beritahukan bahwa calon menantu yang kami cari adalah orang yang mahir dalam ilmu agama, sebab nantinya kami ingin, ia mengantikan posisi saya di desa ini.”
              Wajah Muawanah langsung berubah, tersirat kesedihan dan kekecewaan, ternyata yang ia takutkan terjadi. Lain halnya Salam dan ibu Aminah mereka terlihat pasrah atas penolakan itu, Salam cukup sadar kalau dia bukanlah anak pondokan yang mahir tentang ilmu agama. Ia menyesal karena dulu sewaktu ayahnya masih hidup ia menolak dipondokkan.
              “Tapi abah, abahkan sudah janji, kalau Muawanah mendapatkan lelaki pilihan Muawanah, abah akan setuju. Lagian abah sendiri bilang kau kang Salam orang baik, orang yang tepat untuk Muawanah,” Muawanah mencoba meyakinkan ayahnya.
              “Ia nduk, tapi abah minta maaf,  ini adalah wasiat dari kakekmu. Beliau berpesan ketika kamu menikah nanti, kamu harus menikah dengan orang yang mengerti banyak tentang agama, jadi ibu Aminah dan nak Salam sekali lagi kami mohon maaf.
              Bu Aminah dan kang Salam berpamitan, ke piluan mengguncang hati dan pikirannya, kini ia merasa di per mainkan takdir. Kemarin baru saja ia merasakan kebahagiaan, mengenal seorang gadis cantik dan bersedia menjadi istrinya. Tapi, hari ini semua itu telah sirna. Sembari bersalaman dengan pak Mustajab, kang Salam melirik wajah Muawanah yang mungkin menjadi terakhir kalinya.
              Langit biru mulai berkelabu, awan-awan hitam berbondong-bondong menutupi berbagai keindahan langit, air turun dari celah-celah nya, begitu juga hati Muawanah dan Salam. Cinta mereka begitu singkat.
              Sebulan berlalu, tapi duka itu masih membekas di hati, hari ini adalah hari perkawinan Muawanah dengan Muhaimin, seorang lelaki pilihan pak Mustajab. Kang Salam sendiri tidak mau kalah. Ia juga baru beberapa hari yang lalu melamar neng Rojiah yang kini menjadi istrinya. Awalnya dia menolak untuk lamaran ini, sebab dia masih berharap neng Muawanah yang menjadi istrinya. Tapi, setelah kejadian bulan lalu kondisi ibunya memburuk. Akhirnya ia menerima untuk melamar Rojiah. Paling tidak ia telah membahagiakan ibunya sebelum ibunya benar-benar pergi untuk selama-lamanya.

Butiran Cinta Abhi & Aish

Suatu sore yang dingin, hujan mengguyur hampir di seluruh daratan Madura, terlihat langit gelap dengan balutan awan kelabu dari berbagai sudut. Aku duduk di teras bersama abah dan ibuku. Abahku sedang membaca dokument-dokument projeknya dalam 4 tahun kedepan, sebab dua hari yang lalu beliau diangkat sebagai kepala desa. Sedangkan ibuku menjahit bajuku yang sobek.
Aku sendiri memandangi laptop, mencoba menyelesaikan tugas yang diberikan guru sejarahku, sembari aku search di google tentang kebudayaan yang ada di Madura, aku membuka akun facebook dan twitter.
Hingga kini, aku sudah lebih dari setahun mengunakan facebook, dari masa itu aku telah mengumpulkan sebanyak 756 pertemanan. Sore itu dari ketiga info pertemanan, inbox dan pemberitahuan yang ada dipojok kiri atas facebookku, terlihat tanda merah di info pertemananku. Aku segera membukanya. Seorang cewek ingin berteman denganku, tanpa bosa-basi aku konfirmasinya.
Hujan semakin gemelincir, angin-angin seolah sedang bertengkar dengan  dedaunan, suaranya bertaburan tidak berirama, petir berkali-kali bercahaya seakan-akan melintas dihadapanku, suasana yang sedemikian itu sangat mengugah para facebooker untuk membuat status. Terlihat di dindingku banyak sekali teman-temanku yang membuat status tentang keadaaan sore itu yang mereka kaitkan dengan suasana hati mereka, antara lain
“Shofi- hujan sore ini tahu saja kalu aku sedang galau. Gua musti bilang wow nie.”
“Deni- melihat langit menangis sambil makan jangung bakar emmm nyam mie.”
“Marno- hujan di sore hari itu rasanya kayak melihat anak tiri dipukul ibu tiri rasanya seseg ampek kehati.”
Ketawa, geli dan sebagainya kurasakan, hingga aku tidak sadar dari tadi ibu dan abahku menghentikan aktifitas mereka dan memperhatikanku. Aku melongo melihat cara mereka memandang, dari guratan wajah, sepertinya mereka terganggu oleh tawaku. Melupakan hal itu aku kembali melihat pencarian kebudayaan Madura, disana aku dapati berbagai budaya yang unik dan menarik perhatianku salah satunya adalah Musik tradisional khas pamekasan musik dault.
 Musik ini yang digunakan untuk membangunkan warga ketika sahur tiba dalam pertunjukan musik dault seluruh pemain dan penari mengunakan topeng, dalam tariannya, penari membawa tong kosong. Tong itu melambangkan kritik pada pemimpin-pemimpin yang bisanya hanya bicara nyaring seperti tong kosong.
clup clup clup speaker laptopku berbunyi, suara itu datang dari akun facebookku. Aku segera mengalihkan krusorku di tab facebook. Sebuah pesan ku terima. Aku  membuka pesanya.  Pesan  diterima dari perempuan yang tadi baru saja aku konfirmasi, begini pesanya.
“Helo Abhi Darma, terimaksih konfirnya.”
“Yea sama-sama,” balasku pendek.
“Kalau tidak salah kamu anak Madura yea?” Ia membalasku.
“Yup bener, aku lahir dan besar di sini, Madura adalah pulau yang indah, keelokanya membuatku bangga, dan kekayaan budayanya membuat Madura kaya akan segalanya”. Terangku.
Lama menunggu tidak ada balasan dari perempuan misterius, aku menekan jemariku yang terasa keram, suara crek crek terdengar melengking dari setiap pergelangan jariku, aku kembali melirik abah dan ibu begitu juga mereka yang melakukan hal yang sama padaku.
“Abah!
“Hem ada pa? Abah menjawab dangan pandangan yang serius padaku.
“Abah tidak mengadakan pagelaran kebudayaan untuk merayakan kemenangan menjadi seorang kepala desa? yea sembari menghibur masyarakat, kita bisa mengingatkan kembali kebudayaan mereka yang kini hampir tertinggal, dan kebetulan juga aku dapat tugas untuk mengumpulkan data tentang kebudayan itu.
“Memangnya kapan tugasmu dikumpulkan cong? Tanya ibu, ia menghentikan pekerjaannya.
“Besok!
Cong cong dekrema be’en cong (nak-nak kamu bagaimana toh)  kamu itu kok yea lucu, masak ia Abahmu mau buat pagelaran sekarang?
“Pagelaran itu butuh waktu dan proses yang panjang anakku,” tandas Abah.
Teros dekrema tugas egkok bah, bu. (terus bagai mana dengan tugasku Abah, ibu)
“Yea sudah sini, abah akan kasih sebuah cerita, mungkin bisa membantumu,” tegas Abah sambil meletakan dokumennya yang setebal kamus bahasa inggrisku.
“Tentang kebudayaan Madura kan bah?
“Bukan! tentang nasi goreng, yea iya kebudayaan Madura pakai ditanya.
“hehehe,” aku nyengir.
“Dulu ada seorang pengembala kambing, bernama Abhi seperti namamu. Dia hanya seorang pengembala, kambing yang dipelihara adalah milik kelebun (kepala desa). Ia mengabdi sudah hampir 4 tahun, ibunya menjadi juru masak di keluarga kelebun, sedangkan Abahnya adalah penjaga rumah.
Kepala desa mempunyai seorang putri cantik yang sudah beranjak dewasa. Banyak para saudagar kaya ingin menjodohkan anak-anak mereka dengan sang putri. Tapi lamaran itu di tolak mentah-mentah.
Putri adalah seorang penari, beberapa tarian Madura pernah ia pelajari, tak hayal ia sering mendapat jawara ketika ada kontes  tari. Tari yang biasa ia main kan adalah tarian samper nyeceng. Tarian ini biasanya dilakukan oleh para putri keraton yang mengambarkan kepedulian mereka terhadap petani. Tarian dari sebuah kota di Madura (Sumenep) ini gerakanya seperti gerakan orang menanam padi. Tarian lainya adalah dari bangkalan yang bernama pecot. Tari pecot tidak jauh beda dengan tari samper nyecek, tari ini juga mengambarkan kepedulian terhadap petani.
Akhir november hujan mulai rajin menguyur desa, petani yang sudah sekian lama menunggu akhirnya bisa merasakan kenikmatannya. penganguran mulai terkikis, para pemuda yang pada musim panas terlunta-lunta kesana kemari mencari pekerjaan, kini mereka fokus pada satu tujuan yaitu sawah.
Senyum mengembang di wajah para petani, demikian demi rasa syukur mereka mengelar berbagai perayaan. Perayaan kali ini tidak lepas dari nuansa adat istiadat, ada doa bersama, perlombaan budaya dan berbagai pertunjukan.
“Abhi cepat berangkat kambing-kambingnya sudah pada lapar nak,” ibu Abhi berteriak dari dapur.
“iyea bu.”
Abhi mengambil bekal yang sudah disiapkan ibunya dan ia segera menuntun kambingnya kesawah, tidak lupa ia juga membawa radio buntut abahnya yang di dapat dari kepala desa. Radio itulah yang selalu menemaninya saat mengembala. Sesampainya di ladang, ia menancapkan patok (tiang kecil dari kayu) dan mengikat kambing padanya. Sedangkan ia duduk sambil memutar radio di bawah pohon mangga. Beberapa kali ia memilih chanel yang bagus, sambil memutar-mutar antena yang tertancap di unjung  atas radio agar suara terlihat jelas dan jernih.
Pagi setengah siang seperti itu biasanya dia mendengarkan acara dangdung bergoyong di chanel 99,5 FM, dan benar suara khas Rhoma Irama mulai terdengar merdu mendendangkan lagu Bergadang, disusul Santai, terus Perjuangan dan Doa.
Angin yang terus menerus berhembus membelai-belai dedaunan, dan sesekali menerpa wajah Abhi menambah suasana semakin sayut mengoda. Kelembutan suara Bang Haji Rhoma irama dengan dangdut yang khas dan angin sepoi-sepoi yang meraba lembut membuat Abhi tertidur.
Dalam tidurnya. Ia bermimpi bertemu seorang putri cantik. Putri itu memakai gaun pesta yang begitu indah dan mempesona. Ia bernari berlenggak-lenggok di hadapa Abhi. Sebuah tarian khas yang sering ia jumpai di perayaan-perayaan daerah. Sang putri menghentikan tariaannya. Ia malu saat mengetahui Abhi memperhatikanya. Sang putri berlahan menghampiri dan mengajak Abhi bernari bersamanya dengan iringan musik dault.
Tarian semakin mengesankan. Malam itu Abhi bak pangeren yang diruntuhi duren, baru pertama ia bertemu gadis secantik itu dan ia langsung diajak bernari bersama, dalam tarianya sang putri mulai berputar-putar, sedang Abhi berdiri hanya melihat dan siap menagkap jika nanti sang putri jatuh yang lelah akan putarannya. Pikiranya tepat, sang putri mulai kelihatan lelah dengan sigap Abhi langsung meraihnya dan sang putri jatuh dipelukanya.
“Parrrrrr, ini adalah pelajaran bagimu karena kambing-kambingmu telah merusak tanamanku dan sementara kamu enak-enak tidur, pengembala macam apa kamu.”
“Auwww eh maaf bung, bisakan ngomong baik- baik tanpa harus nampar, aku minta maaf tapi aku tidak tahu kalau kambingku bakal lepas dari ikatanya, abho bangkit dari tidurnya,” seorang bercadar dan topi khas petani memukulnya.
“Maaf kamu bilang, ganti rugi?”
“Aku tidak mau.”
“Baik, aku akan lapor ke kepala desa.”
“Jangan-jangan baik aku akan ganti rugi, aku hanya mempunyai bekal makanan ini, kalau kamu mau ambil saja.”
“boleh, ingat jangan sampai kambingmu merusak tanamanku lagi atau tidak aku laporkan ke kepala desa.”
Sang pemilik sawah melangkah menjauhi Abhi. Abhi sangat menyesal dengan kejadian ini. Mimpinya memang indah tapi di dunia nyata tidak seperti yang ia pikirkan. Sembari merapa pipinya yang terkena tamparan, ia melihat si pemilik tanaman. Sang  pemilik tanaman masih berjalan dan membawa bekal makanannya, tapi Abhi kaget setengah mati ketika angin menerbangkan topi dan kain yang membalut kepala sang pemilik kebun. Ternyata ia bukanlah seorang lelaki melainkan seorang perempuan, perempuan yang berada di mimpinya, mimpi itu benar-benar nyata, walau ceritanya agak berbeda.
Setelah kejadian itu Abhi rajin ketempat kejadian, dengan harapan ia bisa bertemu dengan gadis mimpi yang tiba-tiba menamparnya dikehidupan nyata. Tapi setelah kejadian itu, ia tak kunjung bertemu dengan putri misterius.
Aku mendegarkan cerita abah dengan seksama, disele-sela bercerita abah meminum secangkit teh hangat bikinan ibu.
“Terus bagai mana bah selanjutnya, tanyaku penasaran.
“Terus,” ibu memotong cerita Abah dan melanjutkanya. “Suatu hari sepulang dari mengembala, Abhi melihat banyak orang berkumpul di sebuah pekarangan, ia mencoba merapat seperti kebanyakan orang. Di sana ia dapati lomba karapan sapi. Karapan sapi adalah istilah yang di berikan orang Madura dalam perlombaaan balapan yang mengunakan sapi. Dalam perlombaan ini ada sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu, dimana kayu itu tempat untuk orang yang mengendarai atau yang di sebut joki. Siapa yang paling cepat dan mencapai finis ialah pemenangnya.
Perlombaan  karapan sapi mempunyai empat tahap yaitu kualifikasi, dalam tahap ini para joki nantinya di bagi berkelompok antara yang menang dan kalah. Tahap kedua kelompok yang kalah diadu kembali dengan yang kalah, begitu juga yang menang kembali diadu dengan yang menang. Tahap ketiga semifinal dari kelompok kalah yang menang dan kolompok menang yang menang di adu kembali, untuk menentukan tiga pasang yang melaju ke final. Terakhir adalah final yang diambil juara 1, 2 dan 3.
Sangking asiknya melihat pertunjukan, Abhi lupa dengan kambing-kambingnya, ia baru tersadar ketika pertunjukan selesai, kepanikan menyelimutiya, ia bergegas lari dan pontang-panting mencari kambingnya, andai saja kambingnya benar-benar hilang pastilah hari itu adalah hari terburuk baginya, sebab abah dan ibunya pasti bakal memarahinya habis-habiasan.
Di sebuah ladang ia mendapati kambingnya sedang memakan rumput, ia melangkah mendekati kambing-kambing itu.
“Bing-kambing, engkok bhingung nyareh be’na, mangkanah badanah e dinna. mun alen-jhelenah abele rappah. (aku bingung mencarimu, ndak tahunya kamu disini, kalau mau pergi mbok yea bilang-bilang).”
“Gimana mau bilang, kambing kan ngak bisa bicara.”
Wah,bing be’na bisa acaca kiyah setiyah, be’na penter onggu. (bing kamu bisa bicara sekarang, waduh kamu memang kambing yang cerdas).
“Ehem !”
“Loh bing kok sepertinya itu bukan suaramu, Abhi menengkok kebelakang, spontan ia langsung berdiri karena kaget, kamu!”
“Iya aku.”
“Oh jadi nona yang bicara tadi, terus kenapa nona ada di sini? Atau nona mau minta ganti rugi lagi, maaf aku ndak punya apa-apa.”
“Tidak pemuda, aku ke sini cuma mau kasih makan kambingmu.”
“Oh jadi tadi nona yang bawa kambingku? Nanti aku laporkan anda kepala desa karena telah mencoba mencuri kambingku. Aduh! Aduh! Bing-kambing kamu kenapa kok menyerudukku.”
“Tuh kambing ja tahu kalau dia kamu telantarkan. Makanya punya kambing dijaga.”
“Jadi nona tidak mencurinya? aku minta maaf kalau begitu.”
“Aku maafkan, Yea sudah, kamu sudah di sini, aku pamit dulu, pemisi.”
“Eh nona kalau boleh tahu siapa nama anda? kenalkan aku Abhi.”
“Aku Aish,” gadis itu menatap Abhi dan lalu pergi.
Senja berlahan berganti malam, Abhi tidak henti-hentinya memikirkan gadis pembuat hatinya mabuk kepayang, entah perasaan apa yang kini menjangkitnya, yang pasti semua berbaur jadi satu. Ia bercerita kepada Abahnya, berharap Abahnya memberikan solusi yang mungkin bisa mengartikan perasaannya. Di tengah-tengah ceritanya, Abahnya ketawa lepas melihat anaknya yang mulai jatuh cinta menginggat di usia Abhi yang memasuki umur 25.
“Anakku, memang sudah waktunya Abah mengatakan hal ini padamu, sebab kamu sudah dewasa dan Abah ingin segera punya mantu dan meminang cucu darimu. Dulu Abah mempunyai  3 cara untuk mengikat hati ibumu.”
“Apa itu bah?” Abhi penasaran.
“Pertama manfaatkan kontak mata karena mata adalah sumber cinta. Kedua berikan selalu senyuman maut padanya. Selebihnya beri dia sebuah perhatian khusus sebab perempuan akan merasa dihargai dengan cara ini. Beradalah selalu seolah-olah kamu adalah pahlawan bagi hidupnya.
“Hayo lagi ngomongin siapa? Pasti lagi bicarain ibu,” ibu Abhi datang dari dapur membawa makan malam.
“??###!!!
Keesokan harinya Abhi berangkat lebih pagi. Ia tidak mau menghilangkan kesampatan untuk bertemu Aish, dia tahu kalau ia dan Aish tidak ada perjanjian untuk bertemu, tapi hatinya yakin kalau hari itu tuhan pasti mempertemukanya kembali. Usahanya tidak sia-sia. Sesampainya di ladang ia melihat seorang gadis duduk dibawah pohon mangga, tapi wajahnya nampak layu. Abhi mendekat dan mengucap salam, sang gadis sepertinya tidak mengetahui kedatangnya, akhirnya dia mengulang salam untuk yang kedua kali. Gadis itu tersentak kaget dan segera menghapus air matanya.
“Kamu!”
“Iya aku, maaf apa aku menganggumu?” Tanya Abhi pelan takut kedatangannya menganggu Aish.
“Oh tidak, silahkan kalau mau duduk.”
“Terima kasih, Abhi duduk agak berjauhan dengan Aish. “kalau aku boleh tanya kenapa anda menangis di pagi buta seperti ini?” Abhi bertanya dengan sangat hati-hati, lama tidak ada jawaban air mata gadis itu semakin deras. “maaf jika aku lancang, tapi sungguh aku tidak tega jika melihat perempuan menangis, apa lagi gadis secantik anda. Abhi mulai mengombal dan menatap lekat-lekat mata sang gadis (jurus pertama).
“Hemm, gadis itu sedikit tersenyum mendengar rayuaan Abhi, tapi air matanya tetap tumpah menyertai senyuman manisnya, entanlah itu senyum kegembiraan atau karena terpaksa.
“Anda itu aneh, kemarin datang dalam mimpiku, terus tiba-tiba berada di dunia nyata datang memarahiku, anda juga menyelamatkan dan memberi makan kambingku, dan sekarang anda menagis di pagi buta. Aku jadi penasaran dengan anda.”
“Hai Abhi, tahukah kamu bahwa akulah orang yang paling kesepian didunia ini.”
“Benarkah? Kenapa? Anda membutuhkan teman? aku mau menjadi temanmu.”
“Kamu! Kamu mengajakku berteman?”
“Iya aku, jadi anda mau berteman denganku?”
“Siapa saja tidak akan bisa menolak ajakan pemuda sepertimu.”
“Sungguh? Aku tidak percaya itu, kita belum saling kenal, bertemu baru beberapa hari yang lalu, tapi kamu sudah percaya padaku?”
“Iya, kamu masih ingat beberapa hari yang lalu ketika kamu menolong seorang ibu tua yang mau menyebrang jalan? Dia adalah ibuku, dan aku melihatmu,” jawabnya sambil menghapus air matanya.
“Wow berarti benar kata Abah kalau dunia itu kecil. kita telah menjadi sepasang teman, maukah kamu bercerita tentang dirimu, tentang kemunculanmu dalam mimpi, tiba-tiba marah-marah, terus membantuku dan sekarang anda menangis di pagi buta seperti saat ini? Ia mulai menampakkan seyum lebar dari pipinya yang lesung (jurus kedua).
“Pertanyaanmu banyak sekali, kayak mau kampaye saja.”
“Hehe sebab aku penasaran denganmu.”
“Aku tidak tahu harus mengawali dari mana, tapi biar aku coba. mengapa aku berada di mimpimu itu adalah kuasa tuhan, semua bukan aku yang merencanakan tapi tuhan. Masalah aku memarahimu, karena aku sedikit geram pada pengembala yang tidak bertanggung jawab. Ia membiarkan kambingnya memakan tanaman petani, bagaimana jika pemiliknya tahu dan mereka meminta ganti rugi, pasti kamu akan lebih menderita.
“Jadi kamu bukan pemilik ladang itu?”
“Bukan, oh iya ini rantangmu, isinya sudah aku ganti dan lengkap tiada satupun yang terlewatkan. Aku tahu anda juga belum sarapan pagi ini.”
“Wow anda mengembalikan rantang beserta isinya? Trus anda juga tahu kalau aku belum sarapan, anda sungguh luar biasa. Apakah anda dukun, eh maaf.”
“Dukun, emang tampangku seperti dukun?”
“Hee.... tidak! lebih seperti........ putri yang turun dari kayangan.”
“Kamu merayuku lagi?”
“Menurut anda?”
“emmmm.! masalah aku menyelamatkan kambingmu. Pada waktu itu aku melihat kambingmu berkeliaran sendiri. dari situ aku merantainya di sebuah tiang. Tapi disisi lain aku ingin meminta maaf padamu karena waktu pertama kali kita bertemu, aku sempat menamparmu. Aku salah menilaimu, dan masalah aku menagis aku tidak bisa bercerita.”
“Kenapa? bukankah kamu sudah janji mau jadi temanku?”
“baik, aku akan mencobanya. Aku adalah seorang penari, ibuku yang mengajariku tentang tarian, ketika aku menginjak umur 15 tahun, aku sering di ikutkan lomba-lomba tari dan di situ aku selalu kalah, seorang anak kepala desa selalu menjadi yang terdepan. Setelah berkali-kali aku menuai kekalahan, aku memutuskan untuk berhenti. Ibuku sangat kecewa dengan keputusanku, beliau marah besar dan serangan jantungnya kambuh, hingga beberapa hari ia struk. Aku sungguh menyesal hari itu, demi ibu aku mulai kembali berlatih, dan mengikuti lomba, berharap jika nanti aku memenangkan tropi ibu bisa sembuh dan bangga denganku.
“Sepertinya kamu butuh ini,” Abhi menyodorkan selembar kain untuk mengusah air mata Aish (jurus ketiga).
“Terima kasih, tapi pada hari aku berhasil membawa tropi, dan menjadi penari terbaik, ibuku telah tiada aku sedih karena beliau belum sempat melihat prestasiku, aku merasa bersalah, karena penyebab beliau meninggal adalah aku, aku anak durhaka Abhi aku anak durhaka.
“Aish tidak, kamu tak boleh berkata seperti itu. Ketahuilah, ibumu pasti bangga denganmu, walau beliau tidak bisa melihat keberhasilanmumu di dunia aku yakin ibumu sangat bangga disana.
“Abhi, andai saja aku masih bisa menciumnya, merabanya aku ingin sekali memaluknya Abhi, memeluk erat dan tak ingin aku melapasnya.”
“Kamu tidak salah Aish, kamu benar, kamu sudah menunjukan pada ibumu tentang kesungguhanmu. Yakinlah ibumu telah bahagia di alam sana, dan satu hal lagi laksankan  apa yang diinginkan orang tuamu sebelum meninggal karena itu bisa menghapus kesalahanmu.
“Menuruti perintahnya?”
“Iyah, turuti perintahnya. Abhi mengulang perkataannya.”
“Terimakasih Abhi kamu memang malaikat yang diturunkan tuhan untukku.”
Sausana pagi itu berubah mendung, langit gelap menghalagi sang surya terbit di pagi hari, dari kejauhan kabut nampak semakin tebal, angin menayu-dayu menampar dedaunan. Tangisan Aish pecah kembali, pipi mulusnya terbasahi air mata. Abhi tidak bisa berbuat banyak, jika saja dalam peraturan agama dan budayanya diperbolehkan memeluk Aish, ingin sekali ia memeluk dan menghapus air matanya yang terus mengalir.
Keesokan harinya Abhi meyambangi tempat dimana ia biasa bertemu dengan Aish, tapi sayang hingga siang hari Aish juga tidak kunjung menampakkan wajah cantiknya. Dari kejauhan Abhi melihat seorang bapak-bapak yang sedang membawa rumput.
“Pak permisi boleh tanya sebentar. Abhi menghentikan langkah pak tua.
“Oh iya ada apa cung? Pak tua itu menjawab  dengan keringat yang bercucuran dari wajahnya.
“Bapak lihat gadis yang sering disini tidak pak.”
“Oh neng Aish?”
‘Iya bener. Tadi dia kesini tidak?”
“Aden mah ada-ada saja, ya mana mungkin dia kemari. Dia sekarangkan sedang melangsungkan pernikahan.”
“Pernikahan? Pernikahan siapa pak?”
“Yea pernikahanya dengan si Damar anak juragan kerbau.”
“apa? Bapak jangan bercanda.”
“Aden mah kalau tidak percaya lihat sendiri noh, nie bapak juga mau kesana. Dia mau nikah karna katanya ingin pelaksanakan perintah ibunya sebelum meninggal.
“apa? Jadi! Tidak mungkin”
“sudah den bapak pulang dulu.
“oh yea terima kasih pak.
Seperti yang dirasakan oleh Abhi, aku juga merasakan hal yang sama. Cintanya begitu singkat, dan kini hanya tinggal butiran debu. Tidak terasa pisang goreng dan teh bikinan ibu habis. Senja kini menghilang, azan magrib mulai berkumandang dimana-mana, Abah meninggalkan ruangan dan bergegas menuju masjid. Ibu membereskan piring dan gelas di meja. ketika Aku ingin menutup akun faceboku sebuah pesan masuk, rasa penasaran melintas dibenakku, krusor laptopku kembali ku arahkan pada pesan, pesan itu dari cewek misterius tadi.
“hai Abhi kenalkan aku Aish.
“hah???!!!
                                                                                               

                                                                                                12 Desember 2012

Never Give Up


Water paint behind the rain
Show me my mind
Leave one word
But not my world

Sad beside mad
It is so bad
Not sun shine
I don’t feel fine

But,
I see small smile
It present my well
Go from drack black
Let’s to come back

Tree Without Leaf


Sun said its sense
The clean cloud climb on the cliff
Moon mve behid the mount
Star strew on the sky

Today, I see
Sky without them
Tree without leaf
King without crown
And I without you

You leave me on the drack
You kill my heart
Bring me to the doom
Without sun, cloud, star and moon.

Tree in History

Demi kabut hitam
Air bertaburan dari celah-celahnya
Bingkai cahaya-cahaya perak
Alunan nada menggema dibalik keindahan nya

Di sana...
Kuncup hijau bertaburan
tumbuh menyapa dunia
lambain Jemari mu
Bertepuk, tepukan mesra
Berpeluk, pelukan asmara
Menghiasi jiwa-jiwa hampa

Tanpa mu kekeringan di musim kemarau
Tanpa mu banjir di musim hujan
Tanpa mu air dan api murka
Tanpa mu adalah bencana
Dan tanpa mu dunia sirna

Di bawah renungan cahaya
Di antara daun-daun yang terbelah sang surya

Aku Berjanji
Aku Berjanji
Sekali lagi Aku berjanji

Dengan mu menggapai asa
Dengan mu menggenggam dunia
Dengan mu warnai cinta
Dengan mu menumbuhkan rasa
Rasa seribu satu kata
Rasa indah pada waktunya

Aku Berjanji
Aku Berjanji
Untuk kesekian kalinya Aku berjanji

Menjaga mu,
Melindungi mu
Karena aku, mereka dan dunia
Membutuhkan mu.
 
The Secret Walls Blogger Template by Ipietoon Blogger Template