Sunday, December 20, 2015

The Secret in Bottle

Hasrat berlebih yang dimiliki oleh manusia, terkadang membuat dirinya terbelenggu oleh ke-egoisannya. Ia tidak pernah dapat puas dalam hal cinta dan kebahagiaan. Inilah yang juga terjadi pada Ishak. Anak berumur tiga belas tahun yang harus berurusan dengan kepolisian karena polah tingkahnya. Semenjak ibunya meninggal, ia diasuh oleh ayahnya. Kedekatan Ishak dan ayahnya melebihi kedekatan induk pada itik. Semua berjalan membahagiakan. Ayahnya sangat mencintainya dan apa saja yang ia inginkan akan terpenuhi, tapi semua ini berubah dalam sekejap. Kebahagian itu tiba-tiba berbalik menjadi kepedihan hanya dalam selang lima menit.
Pagi itu, pagi tahun baru Ishak yang ke tiga belas. Sejarah hidupnya berlanjut,  ayahnya meninggal setelah tertimbun bangunan yang roboh ketika bekerja. Bersamaan dengan ayahnya, hatinya ikut tertimbun, tapi ini bukan hanya sekedar timbunan bangunan, ia merasa dunia dan seisinya telah meruntuhkan hatinya.
Diam dan bungkam sejuta bahasa. Ia merasa lebih dari manusia bisu, buta, tuli dan bodoh. Hidup ini tidak lagi ada bagi jiwanya yang masih bernyawa, nyawa itu hanya bayangan, hanya angan. Sesungguhnya ia telah mati tepat ketika ayahnya meninggal. Kini tiada lagi suara yang membangunkannya di pagi hari, walau sebenarnya dulu ia muak di bangunkan pagi hari. Kini tiada lagi belaian tangan di rambutnya yang ikal, sedangkan dulu ia selalu menghindar dari belaian itu. Kini tiada lagi langkah kaki yang mengajaknya ke tempat permainan, tiada lagi nyanyian malam ketika ia hendak tidur, tiada lagi senyuman lebar dan tiada lagi alunan lafal Al-Quran yang merdu dari bibir ayahnya. Sedangkan dulu ia selalu muak dengan suara tak beraturan ayahnya. Semua hilang begitu saja dalam sekejap.
Kini hidupnya sebatang kara, kerabat-kerabatnya tidak mau ambil pusing menjadikannya anak  asuh. Ia terlantar. Lebih dari itu, hatinya telah terlantar sejak teriakan terakhir ayahnya meminta tolong, tapi ia malah asik bermain tanpa menghiraukan ayahnya. Kerabatnya kini disibukkan dengan harta gono-gini yang baginya semua itu adalah debu. ia tidak lagi memiliki teman seperti ayahnya yang mengertinya setiap saat.
Beberapa penyesalan menyelimuti kegundahanya, ia menyesal tidak dapat mengaji seperti yang ayahnya inginkan, sudah berkali-kali ia tidak masuk sekolah dan tidak naik kelas, ia sering membuat ayahnya di pangil dan dipermalukan di depan kepala sekolahnya. Bukan hanya itu, ia juga sering mencuri barang-barang tetangganya dan sudah beberapa kali tertangkap basah. Kali itu ia bukan hanya membuat malu ayahnya tapi lebih dari itu, ia telah mencoreng muka ayahnya dengan kotoran dari polah tingkahnya. Dan kini ia harus berurusan dengan polisi. Tapi ayahnya selalu memaafkan, ayahnya tidak marah, ayahnya tetap mengelus rambutnya yang ikal walau terkadang tangan ayahnya menyangkut di sisi rambutnya. Ayahnya tetap tersenyum.
Di sore hari setelah kebebasannya, ayahnya tetap mengajarinya ngaji. Di malam hari menjelang tidur, ia tetap dinyanyikan lagu kesayangannya dan di pagi harinya, ia dibangunkan dengan sarapan kesukaannya. Ayahnya sama sekali tidak pernah mengeluh padanya. Sore itu adalah akhir dari semuanya, kenakalannya membuat semua itu terjadi.
Kini ia tinggal di rumah ibu Sulastri seorang janda, memiliki seorang anak seumuran Ishak bernama Mariam. Bu Sulastri bukan ibu tirinya, bukan pula kerabatnya, melainkan tetangga. Hati mulianya menaruh simpati pada Ishak, seorang anak bandel dan nakal di kampungnya. Ia yakin ketiadaan seorang ibu membuat semua ini terjadi. Ishak membutuhkan kasih sayang ibu, dari itu bu Sulastri berharap ia bisa menjadi ibu sekaligus penganti ayah dari Ishak. Ia percaya dikenakalan Ishak pasti tersimpan naluri baik yang selama ini masih tertutup rapat.
Benar saja kematian ayahnya merubah Ishak seratus delapan puluh drajad. Sifat nakal dan angkuhnya luntur. Ia kini hanya terdiam, diam di kamar sesekali menangis dan tertawa menyesali semua hal lalu. Hal itu membuat Mariam takut dan bu Sulastri risau. Ia cemas, sebagai seorang ibu ia tahu betul apa yang kini di alami Ishak.  Ishak masih muda dan masih memiliki banyak mimpi.
Suatu sore bu Sulastri meminta Mariam untuk membawa Ishak ke pantai. Ia tidak ingin kamar kecil itu memenjara dan membelenggu Ishak pada rasa sesal dan gelisah. Ia tidak ingin kegelapan kamar itu membawa Ishak dalam jurang yang semakin dalam dan kelam hingga membutakan mata hatinya. Awalnya Mariam takut. Sebelum ini semua terjadi, Mariam tidak begitu akrab dengan Ishak, itu semua karena sifat mereka yang berbeda. Ishak anak lelaki yang banyak tingkah, sedangkan Mariam terkenal sangat muslimah di desanya, semua itu tidak lepas dari asuhan bu Sulastri yang sangat mengedepankan agama bagi pondasi karakter anaknya.
Ishak hanya mengikuti langkah kaki Mariam. Mata, mulut dan wajahnya terlihat kosong. Di setiap perjalanannya kicauan burung terus mengganggu pikirannya. Seolah-olah burung sedang berbalas dendam atas apa yang sering Ishak lakukan pada burung-burung dengan ketapelnya. Sudah puluhan burung ia bunuh. Bukan hanya itu, Lambaian pohon kini serasa menertawakannya. Setelah dahulu ishak pernah merusak tanaman-tanaman warga kini mereka merasa bahagia atas penderitaan Ishak. Semua terlihat bahagia kecuali Ishak, ia semakin terpojok. Sesampainya di pantai, gemercik air lagi-lagi memberinya hinaan atas ulahnya menumpahkan minuman taman-tamannya di sekolah. Ia lalu menjerit. Itu adalah jeritan pertamanya selama sepuluh bulan terakhir. Ia terus memegang kepalanya.
Awalnya semua terlihat nyata, pelan-pelan pandangan matanya memudar dan memudar hingga ia tidak sadarkan diri. Ombak pantai membasahi kakinya. Mariam panik, lalu ia meninggalkan Ishak dan memanggil ibunya. Hari pertama ini gagal, tapi bu Sulastri tidak menyerah ia yakin Ishak akan kembali normal. Berminggu-minggu bu Sulastri mencoba, akhirnya hari itu datang juga. Senyum yang sudah lama hilang, kini pelan-pelan kembali terlihat dari bibir Ishak yang kering. Mulut yang dulunya rapat kini sudah dapat bergerak mengucap nama-nama di sekelilingnya. Setiap sore hari, ketika laut pasang bu Sulastri akan membawa Ishak ke laut, baginya laut adalah sahabat hati, ia bisa menambah nuansa keceriaan yang entahlah magnet apa yang di miliki laut tapi yang ia tahu, ketika gundah laut selalu bisa menyembuhkan hatinya untuk kembali sadar bahwa ia memiliki tuhan yang agung.
Kini Ishak sudah dapat lagi memanggil nama Sulastri dan Mariam. Mariam kini juga sering mengajaknya ke bukit belakang rumah dan berbagi tawa di bawah pohon beringin. Ya kebahagian itu kembali, tapi tetap ketika duka itu terlintas di pikiran ishak, ia akan memegang kepala, berteriak lalu merusak yang ada di sekitar. Luka itu dapat di sembuhkan tapi menghilangkan bekasnya adalah hal sulit. Jadi jangan biarkan luka itu membekas.
Di setiap sore Ishak selalu menulis kata-kata dalam kertas lalu menaruhnya dalam botol dan mengantungnya di pohon beringin di belakang rumah, kini sudah terkumpul belasan botol. Ketika Mariam ingin mengambil dan membukanya, Ishak selalu melarang.
“Kamu tahu Mariam, ayahku pernah berkata, jika kamu memiliki waktu tulislah mimpi atau keluh kesahmu di sebuah kertas, masukkan ke dalam botol dan gantunglah ia di sebuah pohon. Ingat jangan pernah kamu buka sebelum hari lahirmu tiba dan lihatlah dunia dan tulisanmu.” Terang Ishak pada Mariam.
“Jadi aku bisa membaca tulisanmu ketika hari ulang tuhanmu nanti.”
“Ya dan kamu dapat melihat aku dan dunia nanti”.
Kekompakan Mariam dan Ishak terlihat di semua hal, ketika bu Sulastri ke pasar mereka berbagi tugas. Ishak mengantar bu Sulastri, sedangkan Mariam akan menyiapkan sarapan di dapur. begitu juga ketika bu Sulastri sedang kecapean mereka berdua akan bergiliran memijit.
“Belum pernah terbayangkan dalam hidupku ini tante, kalau aku akan memiliki seorang ibu lagi.
“Kenapa kamu berkata begitu Ishak lalu kamu anggap apa aku ini?”
“Tante adalah ibu Mariam betul kan?.
“Iya tapi kamu juga anakku, baiklah mulai saat ini panggillah aku ibu.”
“Benarkah, aku dapat memanggil anda ibu?”
“Em tentu,”
Ishak langsung memeluk ibu barunya.
“Aku berjanji akan menjadi orang yang ibu mau. Aku berjanji.”
“Kamu tidak perlu menjadi apa yang ibu mau, tapi tetaplah menjadi dirimu sendiri, menjadi apa yang kamu impikan tapi selagi itu bermanfaat bagi dirimu, orang di sekitarmu, agama dan bangsamu.
Ishak kembali merenung, Bu Sulastri lantas meminta maaf jika kata-katanya menyinggung. Ishak teringat dengan perkataan ayahnya yang sama persis dengan kata-kata bu Sulastri. Ketiganya kini saling berpelukan.
Seminggu lagi adalah tahun baru, di hari itu Ishak dilahirkan dan di hari itu pula ibu dan ayahnya meninggalkannya untuk selama-lamanya. Jika ibunya meninggal di saat melahirkannya, berbeda dengan ayahnya yang meninggal setahun lalu karena ulahnya. Sudah dua hari ini bu Sulastri demam tinggi. Ishak dan Mariam sempat panik. Mereka ingin bu Sulastri dibawa ke puskesmas agar mendapat perawatan, tapi bu Sulastri melarang mereka. Hari ke lima, kurang dua hari di tahun kelahiran Ishak demam bu Sulastri semakin meninggi. Ia juga sering batuk-batuk darah. Ishak semakin panik, kini ia tidak dapat membiarkan orang terpentingnya meninggalkannya lagi. Tanpa sepengetahuan bu Sulastri ia memanggil bidan terdekat.
Bu Sulastri di bawa ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadar, ia di vonis terkena demam berdarah dan jantungnya meradang. Penanganan bu Sulastri terbilang lambat seharusnya sehari setelahnya ia harus sudah di rawat walau ramuan tradisional yang ia minum sedikit menghilangkan rasa sakit, tapi itu tidaklah membantu. Dokter mengisyaratkan jika jantung bus Sulastri harus di ganti karena radang yang tidak lagi dapat di sembuhkan. Jika tidak segera, ia akan mati.
Satu jam berlalu. Dunia telah gelap. Tapi di tempat lain cahaya bersinar. Di luar sana petasan dan kembang api berjibaku meletus-letus menandakan waktu malam tahun baru telah tiba, malam kelahiran Ishak telah tiba, malam kematian ibu dan ayahnya juga telah tiba dan kini di hari itu pula, ia mengikuti jejak ayah dan ibunya.
“Ibu”, ringeh Mariam berada dipelukan ibunya di bawah pohon beringin di belakang rumahnya ketika senja akan berlalu.
“Iya sayang, ia sudah berada di jantung ibu dan selamanya akan bersama kita.”
“Dulu aku pernah meminta izin pada Ishak.  jika waktu ulang tahunnya tiba aku boleh membuka dan membaca isi botol-botol yang menggantung itu. Maukah kamu membacakannya untukku setiap sore di sini.
“Aku akan membacanya untukmu”.
Cinta akan terasa menyakitkan ketika  datang dalam kehidupan kita tapi tidak dapat dimiliki. Tapi dengan cinta yang sewajarnya itu akan lebih terasa ringan ketika ia meninggalkan kita. Konon katanya, cintailah seseorang dengan cinta yang sewajarnya dan bencilah seseorang tapi dengan kebencian yang sewajarnya sebab kita tidak akan pernah tahu rahasia di dalam botol sebelum kita membukanya. Bisa saja orang yang kita cintai pergi dan sebaliknya orang yang kita benci berbalik datang menumbuhkan cinta yang kita miliki.

0 comments:

Post a Comment

 
The Secret Walls Blogger Template by Ipietoon Blogger Template