Sunday, December 20, 2015

Pasung Keriput

Kulit keriput itu berayunan diterpa angin. Matanya yang sembab mengalirkan cinta bercampur debu. Tubuhnya yang tak lagi tegak membopong  kebahagian yang semu. Kaki yang bertabur bercak-bercak kulit mati terus berjalan menyusuri kerikil-kerikil tajam tanpa sehelai alas kaki. Bibir yang kering komat-kamit menyebut nama tuhannya yang agung. Siang itu matahari membakar seluruh badannya. Pakaian kusutnya tidak mampu melindungunya. Keindahan ombak padi yang hijau, birunya langit dengan hiasan awan-awan putih yang berlarian dan keceriaan burung-burung yang mengelilinginya tak lagi ia hiraukan.
Tepat di sebuah pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi ia berhenti.  Ia meletakkan setengah karung biji padi yang ia dapat hari ini. Kali ini wajahnya terlihat nanpak jelas, ada semangat, kesabaran dan juga kepedihan yang mendalam. Tapi ia tak pernah mengeluh, bahkan ia selalu mengucap syukur pada tuhannya yang terus memberikan kenikmatan padanya.
Sebotol air minum yang tadinya penuh saat ia berangkat, kini hanya tinggal seteguk. Ia tidak perduli. Memang Perjalannya menuju istana hidupnya masih menyisakan waktu seperempat jam lagi, tapi yang pasti saat itu tuhannya masih sayang padanya dengan memberikanya seteguk air minum.
Semilir angin kali ini membawanya menyaksikan keindahan di sekilingnya, padi-padi hijau berombak, birunya langit, putihnya kilauan awan-awan dan kicauan burung-burung. kini ia dapat menyaksiakannya langsung walau tidak begitu jelas karena mata yang sudah lelah ditelan usia. Seperti siang itu yang hanya di temani rumput, bambu dan langit biru serta burung-burung yang berkeliling di angkasa. Begitulah kehidupanya, ia bernama mbok Juminah. Ia memiliki dua anak bernama Asih dan Kumala. Beberapa bulan yang lalu Asih menjadi TKW di negeri tetangga. Sudah hampir setahun ini anaknya meninggalkannya yang telah renta. Ekonomi menjadi penyebab semuanya.
Beberapa bulan lalu Asih berpamitan ke Hongkong. Itu yang hanya ia tahu. Selebihnya ia tidak tahu menahu, sebab keinginan anaknya tidak dapat lagi ia cegah. Asih berjanji sebulan sekali akan mengirimnya uang kebutuhan sehari-hari. Tapi hampir setahun ini ia belum pernah menerima uang itu, sebenarnya bukanklah uang yang ia inginkan, tapi kabar dari anak kesayangannya itu. Pernah ia beberapa kali ke kantor yang mengirimkan Asih ke Hongkong. Tapi aneh, setiap kali mbok juminah berkunjung, kantor itu selalu tutup.
Hatinya resah, resah bukan karena hidupnya yang sebatang kara, tapi resah jika ia harus menerima fakta anaknya sudah setahun tidak juga memberi kabar. Rasa takut selalu menghantui pikiranya. Jangan jangan Asih hilang, jangan-jangan Asih di jual, jangan jangan dan jangan jangan yang lain bermunculan dalam pikirannya. Doalah yang menguatkan dan menyakinkannya jika anaknya baik-baik saja. Ia percaya dengan janji-janji tuhannya. Ia percaya akan imbalan-imbalan kebahagian dari tuhannya.
Sesampainya di rumah ia kembali meneguk air dari sebuah guci yang terisi air di meja tamunya. Ia juga langsung membeber selembar karung besar di bawah terik matahari untuk mengkeringkan hasil padinya siang itu. Belum ia selesai merapikan badan, seseorang berteriak dari rumahnya yang hitam dan berjamur di sisi-sisinya. Suara itu berulang kali menjerit, jeritanya hampir seperti makian dan kemarahan, meledak-ledak dan sesekali tertawa lepas, menangis lalu ketawa dan marah kembali. Mbok Juminah masuk ke dalam tanpa menghiraukan triakan itu. Baginya triakan itu sudah menjadi satu dari sekian hiasan dalam kehidupanya.  Istighfar terus terlantun  dari bibirnya yang tetap kering walau air telah membasahinya.
Selepas berganti pakaian, ia menuju dapur dan mengambil sepiring nasi beserta sayur bayang yang ia petik di belakang rumahnya. Ia berjalan menuju sebuah kamar. Saat ia membuka pintu tiba-tiba dari dalam seseorang meraung-raung seperti  harimau kelaparan. Ia terus berteriak, sesekali tertawa dan menangis di saat yang sama. Dari matanya yang kusut mbok Juminah berkaca-kaca. Inilah Kumala anak mbok Juminah yang baru berumur 19 tahun. Ya, apalah itu sebutan yang pantas disematkan pada kondisi anaknya saat ini, memang anaknya gila. Kumala sudah tidak waras dan mbok Juminah juga mengakui hal pedih itu.
Semua berawal tiga bulan lalu. Setalah selama 6 bulan Asih pergi ke Hongkong dan tidak pernah ada kabarnya lagi, Kumala mencoba mencari kerja di kota tidak jauh dari desanya. Lagi-lagi semua ini dilakukan karena ekonomi. Awalnya semua berjalan mulus. Seminggu setelah melamar, Kumala lansung di terima. Jarang sekali lulusan SMP seperti dirinya bisa di terima kerja dalam waktu yang singkat. Hal ini membuatnya bahagia. Mbok Juminah sendiri hanya bisa pasrah jika anaknya kerja. Ia hanya berpesan pada anaknya bahwa hidup harus di landasi tiga faktor penting, ke tiganya adalah syukur, ihklas dan sabar.
Kumala tidak melupakan rasa syukur pada tuhannya,  bahkan ia semakin percaya jika tuhannya telah memenuhi janji-janjinya. Mungkin tuhan belum memberinya kabar keberadaan kakaknya,tapi dengan nikmat yang ia terima saat ini membuatnya yakin waktu itu akan tiba.
Kebahagian itu memang tidak kekal, di mana kebahagian di situ sebenarnya kepedihan terselip dan di saat itu seharusnya seseorang juga bersiap dengan kepedihan. Kumala terlalu terbuai dengan kenikmatan. terpilihanya ia menjadi buruh juragan singkong itu berbuah kepedihan lahir dan batinnya. Dengan kurang ajar, juragan singkong telah menodai kehormatanya dan dengan semena-mena memecatnya hari itu juga.
Kumala terpukul, mimpi-mimpi yang ia bangun, kebahagian yang ia rangkai kini berubah seratus delapan puluh derajat menjadi duri-duri yang menusuknya, menjadi api yang membakar jiwanya dan menjadi petir yang terus menyegatnya. Ia rapuh, imannya runtuh. Mbok Juminah sendiri hanya bisa pasrah melihat kondisi anaknya. Beberapa kali ia mencoba menyadarkan anaknya tapi usahanya gagal. kepedihan telah meluluh lantangkan jiwa Kumala yang sudah tertata rapi.
Hari-hari Kumala mulai mempertanyakan janji-janji tuhannya. kepedihan yang ia pendam kini tidak mampu lagi melihat nikmat-nikmat tuhannya. Rasa syukurnya telah sirna di terjang kekalutan hidup yang menderanya. Iman itu telah runtuh tertutupi noda-noda kepedihan yang tidak sanggup ia tangung. Baginya, tuhan telah menipunya dan menghianati kesetiannya
Tetangga mbok Juminah mulai resah, tapi ada juga yang masih bersimpati. Seharian itu Kumala sudah 30 kali berteriak-teriak meminta keadilan pada tuhanya. Bukan hanya itu beberapa kali juga Kumala keluar rumah dan mulai merusak hal yang ia lihat. Ia mulai menakuti para orang tua yang memiliki anak.
Warga malam ini berembuk, mereka meperdebatkan apa yang harus di perbuat untuk Kumala. Keputusan sudah di ambil, Karmin dan Joko di perintahkan pak kades untuk mencari Kumala malam itu juga. Mbok Juminah yang mengikuti diskusi terlihat pasrah dan hanya bisa menangis. Belum setahun ia di tinggal anaknya Asih dan kini anaknya yang lain menjadi gila.
Tubuh yang lemas itu masih kuat menendang-nendang Karmin dan Joko. Kumala  ditemukan di sebuah teras warga. Mereka membopong Kumala ke balai desa. Panjang lebar pak lurah mengumumkan hasil keputusan. keputusannya adalah Kumala tetap di urus mbok Juminah dangan jaminan Kumala harus di  PASUNG.
Kata-kata pasung sekali lagi menusuk hatinya, tusukan itu kini memecahkan darah hingga mengalir deras dari jantungnya. “Ujian apakah ini ya Allah, belum jelas keberadaan anakku Asih dan kini Kau menyuruhku untuk memasung Kumala di rumahku sendiri. Hatinya bergetar, tiba-tiba saja terbesit shu’udon pada tuhannya yang selama ini memberinya nikmat. Ia segera ber Istighfar berkali-kali.
Di gubuk sederhana itulah saksi seorang ibu harus memasung anaknya sendiri. Hati ibu mana yang tidak remuk redam dengungan jerit yang tidak padam. Jiwa ibu mana yang mampu memasung buah hatinya. Walau batin rapuh jiwa bergemuruh menolak kenyataan itu, toh semua telah terjadi. Mbok Juminah hanya bisa bersyukur, iklas, sabar dan mengucap banyak  Istighfar pada tuhannya.

0 comments:

Post a Comment

 
The Secret Walls Blogger Template by Ipietoon Blogger Template